Hiperrealitas Media
Jean Baudrilland, seorang peneliti asal Prancis menyakini bahwa tanda-tanda memang terpisah dari objek yang mereka tandai dan bahwa media telah menggerakkan proses ini sehingga titik di mana tidak ada yang nyata. (littlejohn, 408:2009).
Menurut
baudrilland media telah mengaburkan batas-batas antara sesuatu yang nyata
dengan sesuatu yang maya. Melalui tanda-tanda yang di ciptakan manusia sendiri
ternyata manusia pada akhirnya merasa bahwa tanda-tanda yang mereka ciptakan
itu sesuatu yang benar dan nyata.
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktiv
Media Sosial
Keberadaan
media-media sosial, ternyata menciptakan fenomena baru yang menarik untuk
dikaji lebih dalam. Fenomena yang paling jelas adalah hiperrealitas. Jean
Baudrillard, seorang sosiologis ternama dari Perancis, dalam bukunya “Simulacra
and Simulation”, menyebutkan bahwa hiperralitas adalah sebuah konsep
dimana realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi
dan permainan tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya (hyper-sign).
Hiperrealitas adalah suatu keadaan di mana kepalsuan bersatu dengan
keaslian, tercampur-baur. Masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang
siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan
kebenaran. Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah
simulasi (tiruan yang mirip dengan aslinya). Simulasi itu menciptakan simulacrum
(jamak: simulacra), didefinisikan sebagai image atau representation.
Hiperrealitas membuat orang akhirnya terjebak pada simulacra, dan bukan
pada sesuatu yang nyata.
Nicolas Carr
menyebut hal ini sebagai citra kamuflase. Dalam buku The Shallows: What the
Internet Is Doing to Our Brains, Carr mengejutkan publik, karena
mengeluarkan teori bahwa kehidupan digital (baca internet) telah mendangkalkan
cara berfikir manusia. Salah satu mengapa pikiran menjadi dangkal, adalah
karena citra-citra kamuflase tersebut. Orang terbiasa hidup dalam alam yang
bukan realitas, tetapi hiperrealitas. Terlebih di media sosial. Orang bisa
mencitrakan dirinya sesuka hati, sehingga citra yang muncul benar-benar
positif. Sebagai contoh, saya pernah “tertipu” dengan seorang pemilik akun
sosial media yang terlihat begitu imut dan cantik, tetapi setelah bertemu,
ternyata (maaf) penampilannya biasa-biasa saja.
Media Massa
Cara kita
melihat dunia saat ini, diperngaruhi oleh media (televisi, Internet, Koran, Majalah, Radio dll). Kita mempercayai semua yang ditayangkan dalam berita di televisi, Berita di koran, Berita online di media online sebagai
kenyataan dan realita yang terjadi sebenarnya.
Kita tahu ada ISIS di timur tengah, ada perang di Israel, kelaparan di Asmat Papua, kasus pembegalan di mana-mana, Guru menganiaya muridnya, Murid membunuh gurunya, Mudid menantang kepala sekolahnya. Sebenarnya secara tidak langsung itu kita belajar cara bagaimana memandang dunia.
Apakah semua berita yang di suguhkan oleh media tersebut adalah realita dan fakta ? ya itu fakta tapi bukan realita sebenarnya itu adalah realita media, Fakta yang telah dipilah, dipilih, di sunting dan setelah benar2 dibumbui baru siarkan kepada khalayak. Apakah itu benar ? ya kebenaran yang menguntungkan mereka (media tersebut lebih Khusus pemilik media yang bersangkutan)
Kenyataan
Kita tahu ada ISIS di timur tengah, ada perang di Israel, kelaparan di Asmat Papua, kasus pembegalan di mana-mana, Guru menganiaya muridnya, Murid membunuh gurunya, Mudid menantang kepala sekolahnya. Sebenarnya secara tidak langsung itu kita belajar cara bagaimana memandang dunia.
Apakah semua berita yang di suguhkan oleh media tersebut adalah realita dan fakta ? ya itu fakta tapi bukan realita sebenarnya itu adalah realita media, Fakta yang telah dipilah, dipilih, di sunting dan setelah benar2 dibumbui baru siarkan kepada khalayak. Apakah itu benar ? ya kebenaran yang menguntungkan mereka (media tersebut lebih Khusus pemilik media yang bersangkutan)
Kenyataan
Jika Anda
saat ini menjadi sangat takut untuk keluar rumah pada malam hari, takut di
begal jika sendirian dia jalan raya, takut anak anda akan di pukuli, berarti
media telah sukses untuk mengubah arah berfikir anda. Dan menganggap realita
media adalah realita yang benar.
Jika anak
Anda melakukan, bersikap dan bertingkah lalu sesuai dengan tayangan sinetron atau film anak yang anak Anda tonton setiap hari,
berarti anak Anda telah terjebak dalam realita media.
Jika Anda
merasa menjadi penjelajah dan menjadi orang yang bebas dengan merokok Djarum Super, berarti
Anda sudah terjebak dalam hiperrealitas.
Jika Anda
merasa menjadi sekuat Macan setelah makan Biskuat Berarti Anda telah terjebak pula dalam hiperrealita
Jika Anda
tertipu dengan wajah cantik yang ada pada profile Facebook kenalan anda,
berarti Anda juga terjebak
Kita seringkali masih berfikir bahwa yang ditayangkan media itu benar dan nyata, terutama berita. Tetapi walaupun kita tahu bahwa iklan sering kali melebih lebihkan sesuatu, Film menayangkan sebuat sesuatu yang tidak nyata, bahkan kita tahu bahwa film kartun itu sesuatu benar-benar tidak nyata, tetapi anehnya seringkali kita percaya dan terjebak dalam realita palsu tersebut.
Kita seringkali masih berfikir bahwa yang ditayangkan media itu benar dan nyata, terutama berita. Tetapi walaupun kita tahu bahwa iklan sering kali melebih lebihkan sesuatu, Film menayangkan sebuat sesuatu yang tidak nyata, bahkan kita tahu bahwa film kartun itu sesuatu benar-benar tidak nyata, tetapi anehnya seringkali kita percaya dan terjebak dalam realita palsu tersebut.
Terjebak
Tenyata tanpa kita sadari kita terjebak dalam
realita-realita palsu yang sengaja diciptakan untuk mengurung kita dalam dunia
yang semu. Padahal manusia sendiri yang menciptakan kepalsuan itu. Tetapi justru
kita akan terjebak dalam jebakan kita dalam dunia yang disebut hiperrealitas.
Berfikir dan jangan mudah percaya dengan media yang kita baca, Jangan terjebak
dalam media dalam satu konglomerasi
Teori Semiotika
Semiotika Adalah
Bahaya televisi Bagi anak
Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Degradasi Moral dan Televisi
Bahaya Televisi
Pengusaha yang mempunyai banyak media
Semiotika Adalah
Bahaya televisi Bagi anak
Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Intervensi Pemilik Media "Konglomerasi Media"
Bahaya Konglomerasi Media
Dampak Konglomerasi Media
Regulasi atau Aturan Konglomerasi Media Di Indonesia
Degradasi Moral dan Televisi
Bahaya Televisi
Pengusaha yang mempunyai banyak media
0 comments:
Post a Comment